Info Lainnya

Thursday, July 3, 2008

Mesjid Pintu Seribu

Pertengahan tahun lalu, dokter Sindhiarta Mulya, seorang aktivis Klub Jalansutra, mengajak saya melihat Mesjid Pintu Seribu di Tangerang. Saya sudah tiba di Tangerang ketika tiba-tiba merasa tidak enak badan. Saya urungkan kunjungan itu. Ternyata, saya malah harus berbaring di rumah sakit.

Minggu lalu, keinginan itu kesampaian. Kali ini saya bahkan "diantar" sekitar 60 anggota Klub Jalansutra. Dokter Sindhi mengatur semua acara kami sehari itu dengan piawai, bak event organizer profesional.

Mesjid itu resminya bernama Mesjid Agung Nurul Yaqiin, berlokasi di Kampung Bayur, Priuk Jaya, Jatiuwung, Kabupaten Tangerang. Lokasinya cukup mudah dijangkau dengan mobil, hanya beberapa menit dari pusat Kota Tangerang. Mesjid ini sebetulnya bisa kelihatan dari pesawat yang akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.


Sama dengan penamaan lain yang memakai kata "seribu", angka itu sebetulnya bersifat simbolik belaka. Gedung Lawang Sewu di Semarang, misalnya, sebenarnya tidak mempunyai seribu pintu. Pulau Seribu di Teluk Jakarta juga tidak terdiri atas seribu pulau. Ketika jumlahnya sudah terlalu banyak, maka "seribu" menjadi hitungan yang dianggap mewakili.

Mesjid Pintu Seribu (MPS) ini memang memiliki sangat banyak pintu. Tetapi, bahkan pengelola dan pembangun mesjid tidak pernah menghitung berapa sebetulnya jumlah pintu yang ada di mesjid itu. Mungkin perlu ada sayembara untuk menghitung jumlah pintu mesjid itu.

Tetapi, mungkin juga tidak ada gunanya menghitung jumlah pintu itu sekarang. MPS adalah sebuah work in progress. Sejak dibangun pada tahun 1982 (keterangan lain bahkan menyebut tahun 1977) oleh Al Faqir, mesjid ini memang hingga kini belum selesai. Al Faqir adalah warga setempat yang memulai pembangunan mesjid itu dengan dana dari koceknya sendiri. Untuk menghormatinya, warga kampung memberinya gelar Mahdi Hasan al Qudratillah al Muqodam. Sekarang, Al Faqir juga sedang membangun mesjid-mesjid serupa di Karawang, Madiun, dan beberapa kota lain di Indonesia. Semakin banyak musafir yang datang berkunjung ke MPS, akan semakin banyak lagi kota-kota Indonesia yang mengingini mesjid serupa dengan swadaya masyarakat.
Melihat penampilannya, MPS ini tampaknya sengaja dibangun agar tak pernah selesai. Mungkin maksudnya supaya umat tidak segera puas dan terus berupaya membesarkan mesjid ini. Konsep itu jelas terlihat menjadi prinsip filosofis mesjid ini.

Pembangunan mesjid ini bahkan tidak memakai gambar rancang. Tidak ada desain dasar yang bisa menampilkan corak arsitektur tertentu. Ada pintu-pintu gerbang yang sangat ornamental mengikuti ciri arsitektur zaman Baroque, tetapi ada juga yang bahkan sangat mirip dengan arsitektur Maya dan Aztec.

Sekarang, tapak bangunan mesjid ini sudah mencapai luas sekitar satu hektare. Diharapkan akan semakin banyak warga kampung mewakafkan tanahnya untuk memperluas bangunan mesjid di masa datang.

Pada beberapa pintu tampak ornamen dengan angka 999. Lho, mengapa tidak konsisten? Mesjid Pintu Seribu tetapi memakai lambang 999? Semula saya pikir itu ada kaitannya dengan legenda Candi Prambanan, ketika Bandung Bondowoso hanya mampu menyelesaikan 999 arca pada saat ayam berkokok menandai pagi. Roro Jonggrang yang menuntut arca ke-1000 kemudian dikutuk menjadi batu. Maka, saya pun berpikir tentang konsep filosofis bahwa masing-masing dari kita harus menjadi pintu yang ke-1000 bagi kesempurnaan mesjid ini.
Ternyata, pikiran saya itu tidak tepat. Menurut, Engkong Karim yang memandu kami, angka itu merupakan simbolisasi asma (nama) Allah. Allah disebut dengan 300 nama di Kitab Zabur (Nabi Daud). Dalam Kitab Taurat (Nabi Musa) dan Kitab Injil (Nabi Isa) pun Tuhan disebut masing-masing dengan 300 nama. Dalam Al Quran terdapat 99 asma Allah. Sungguh besar Allah yang mempunyai 999 nama.

Setelah berdoa bersama di sebuah selasar bagian mesjid yang paling awal dibangun, kami diantar memasuki bagian mesjid yang sedang dan terus dibangun. Bagian yang pertama kami kunjungi adalah ruang tasbih di bawah tanah. Melalui lorong sempit yang gelap dan berliku kami harus meraba-raba untuk mencapai ruang itu. Ruang itu lembab dan beberapa bagian lantainya becek. Matahari tak pernah menembus ruang itu.

Istri saya mengingatkan pengalaman itu dengan kunjungan ke lorong bawah tanah di sepanjang Tembok Ratapan di Yerusalem. Bedanya, di lorong Yerusalem itu sudah dipasangi lampu-lampu agar pengunjung dapat berjalan dengan aman.

Lorong-lorong bawah tanah MPS itu mempunyai banyak cabang-cabang dan betul-betul merupakan labirin yang menyesatkan. Tanpa penunjuk jalan, pastilah kami akan tersesat di dalamnya. Salah satu cabang lorong itu menuju ke sebuah kolam di bawah tanah yang berisi air untuk berwudhu. Lorong-lorong yang lain juga menuju ke berbagai ruang sempit yang bisa digunakan untuk melakukan istiqomah (bersunyi hati, pikiran dan perasaan untuk mendekatkan diri kepada Allah).

Salah satu ruang bawah tanah itu agak luas, memakai lantai keramik putih, dan di sana tersedia sebuah tasbih superbesar dari kayu. Garis tengah masing-masing butir tasbihnya sekitar 10 sentimeter. Ruang ini dipakai oleh Al Faqir untuk ber-istiqomah. Orang-orang yang mempunyai hajat khusus juga diperkenankan menggunakan ruang ini untuk ber-istiqomah.

Pemandu sengaja mematikan lampu di ruang itu, dan mengajak kami semua membayangkan bahwa pada saat kematian nanti kita akan berada dalam liang yang jauh lebih kecil dan lebih pengap daripada ruangan ini. Kemudian ia mengajak kami semua berdoa bersama dalam keheningan dan kegelapan.
Dari sana kami diantar keluar melalui lorong-lorong dan mencapai sebuah ruang terbuka yang mirip courtyard lapang dengan bangunan bertingkat dua di sekelilingnya. Menurut penunjuk jalan, di sinilah dilakukan sembahyang berjamaah, setelah orang selesai ber-istiqomah secara individual di ruang bawah tanah. Bagian bangunan ini belum selesai dibangun. Lantai dua dan tiga di sekelilingnya masih tampak terbuka.

Pada bagian terbuka itu tampak pilar-pilar dan dinding berwarna merah muda (pink). Sebelumnya, di bagian dalam kami juga melihat beberapa pilar berwarna pink. Ada juga yang berwarna kuning mencolok. Seorang di antara kami bertanya, apakah ada makna khusus dari warna pink itu. Maklum, ketika kami berkunjung, Hari Valentine baru saja lewat.

"Ah, itu kan karena kebetulan kami mendapat sumbangan cat berwarna merah muda," kata Engkong Karim. "Kalau besok ada yang menyumbang cat berwarna merah atau biru, maka pastilah sebagian dinding dan pilar mesjid ini akan berwarna merah dan biru pula."

Nah, partai-partai yang mau berkampanye, siap-siaplah menyumbang cat warna partai Anda untuk MPS!

Kami meninggalkan MPS dan singgah di Bendung Pasar Baru (Tangerang) yang merupakan pintu air untuk mengendalikan irigasi Sungai Cisadane. Bendung raksasa ini juga tampak dari pesawat yang akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari menara bendung ini kita bahkan dapat melihat jelas bandara internasional itu. Bendung ini mempunyai sepuluh pintu, dibangun pada tahun 1937 untuk mengairi 27 ribu hektare sawah. Menurut R Zain, anggota Klub Jalansutra, di Sungai Cisadane hingga tahun 1980-an masih terdapat ikan belida (khas Palembang).

Dari Bendung Pasar Baru kami menuju tempat yang sudah kami nanti-nanti untuk makan siang. Tempat itu adalah "Saung Kemala Sari", milik dokter H Gusti Benyamin M. Ini bukan hanya tempat makan, melainkan juga merupakan taman wisata mancing dan mempunyai bale nembang (ruang karaoke). "Saung Kemala Sari" terletak persis di belakang Bandara Soekarno Hatta, Desa Selapajang Jaya, Kotamadya Tangerang. Jalan raya di depannya merupakan akses ke pantai Utara Jawa. Pantai itu terletak sekitar sepuluh kilometer dari restoran. Tak heran, restoran selalu mendapat pasokan ikan paling segar setiap hari.
Kami disambut dengan senyum ramah dokter Ben. Hari itu ia khusus memasak buat kami. Bahkan, beberapa hari sebelumnya, dokter yang gemar mancing ini sengaja menembus ombak yang sedang ganas di Selat Sunda untuk mencarikan ikan bagi kami. Dua ekor ikan besar bluefin trevally (ikan kuwe) yang tersaji hari itu adalah hasil pancingan dan masakannya.

Hari itu kami betul-betul makan besar. Sebelum makan kami sudah digoda dengan appetizer berupa rujak bebeg. Guy du du (salad Vietnam) yang dibawa Arie Parikesit Kusumo, anggota Klub Jalansutra, juga membuat kami semakin berselera.

Nasi timbelnya dikukus dengan pandan sehingga berbau harum. Di samping hidangan laut (ikan bakar, udang bakar, cumi bakar) yang merupakan kekhasan "Saung Kemala Sari", tersaji juga dua hidangan lokal khas Banten yang sengaja dimasak dokter Ben untuk kami cicipi. Yang pertama adalah gogodogan, yaitu tetelan sapi yang disemur dengan gula merah, cabe merah, kencur, dan berbagai bumbu lain. Yang kedua adalah rabeg, jeroan kambing yang digulai dengan bawang putih, jahe, cengkeh, dan bumbu-bumbu lain. Persis di sebelah kuali, ditempatkan obat-obat khusus untuk menurunkan asam urat dan kolesterol. Wah, dasar resto punya dokter!

Setelah makan siang yang memuaskan, kami juga "berpesta" pencuci mulut (desserts) yang dibawa Ratna Somantri,anggota Klub Jalansutra yang punya toko kue "Dessert Only". Strawberry cheesecake dan tiramisu-nya unforgettable!
Perjalanan selebihnya menjadi lebih sulit karena kami harus menyeret perut yang berat. Hari itu kami masih mengunjungi Vihara Nimmala (Boen San Bio) di Pasar Baru, Tangerang, yang memegang sepuluh Rekor MURI (Museum Rekor Indonesia). Kami mengakhiri kunjungan kami di Tangerang dengan melihat bekas rumah seorang tuan tanah di masa lalu. Rumah besar bergaya Tiongkok itu kini dalam kondisi tidak terawat. Di sebelahnya bahkan ada bangunan besar yang sudah hampir runtuh. Tiga stasiun televisi sudah datang ke sana untuk meliput kuntilanak yang menghuninya.

Oh, seraaam! Tidak usah diceritakan di sini, ya? M (BW/IM) Penulis adalah seorang pengelana yang telah mengunjungi berbagai tempat dan mencicipi makanan-makanan khas, dan masih akan terus melakukan pengembaraannya.

dikutip dari : http://www.indonesiamedia.com/2004/10/early/budaya/budaya-1004-mesjid.htm

No comments: